Untaian Kata

Selasa, 19 Desember 2017

Jarak Terjauh

JARAK.
Sepenggal kata yang membuat hubungan ini begitu asik.
Menjadikan setiap pertemuan begitu berarti, setiap gelak tawa layaknya perayaan, setiap sentuh adalah kehangatan.

Benarlah bait lagu tentang kerinduan yang dilantunkan sangat indah oleh penyanyinya: jarak dan waktu tak kan berarti, karena kau akan selalu di hati.

Ya, hati ini dipenuhi olehmu meski tak nampak ragamu.

Sering kali kuupayakan agar kita bisa mendekat. Memperkecil jarak di antara kita..
Kusanggupi menahan lapar untuk membeli selembar tiket menuju tempatmu..
Kutandatangani kesepakatan kerja bertahun-tahun di luar daerah yang dekat dengan kediamanmu..
Tapi itulah lucunya takdir, kau malah berlari menuju tempat asalku..

Ah, tak apa. Asal hatimu masih milikku..

Saat hubungan ini menjadi begitu serius, Tuhan memberikan jalan-jalan terbaiknya..
Kita akan menjadi dekat! Sangat dekat untuk bisa bersua setiap harinya..

Sayangnya hatimu malah menjauh.. Begitu jauhnya sampai menahan laparpun tak akan bisa membuat ku menjangkaumu.. kesepakatan apapun tak akan bisa membantuku menggapaimu..

Saat hatimu sudah tak terlihat lagi, garis hidup bermain-main dengan hatiku. Takdir menjadikan jarak kita hanya sejauh sepetak rumah tipe 21.

Ah, tapi kamu tidak tahu.. karena kamu tidak lagi mau tahu tentangku..

Barulah kini kusadari, jarak terjauh bagi kita bukanlah dimana raga ini berada.. tapi ketika hati ini tak lagi terjaga..

Kamu yang sekarang dekat hatinya dan raganya dengan wanita itu, semoga bahagia di cerita hidupmu pasca denganku..

Dari aku, wanita yang kau tinggalkan dalam perjalanku menujumu.

Gambar terkait

Senin, 18 Desember 2017

Benci

Hariku penuh dengan kebencian akhir-akhir ini..

Aku benci berada di mall, karena denganmu lah aku menghabiskan waktu di mall selama 5 tahun terakhir ini...
Aku benci ide menonton film baru, karena aku tidak tahu dengan siapa aku akan meluapkan semua hujatan atau pujian setelah menontonnya...
Aku benci film horror, yang memang sedari dulu sudah kubenci namun tetap kutonton karena bersamamu..
Aku benci makanan enak, karena kemana lagi kukirimkan foto makanan-makanan itu untuk kuperlihatkan betapa menggiurkannya mereka..
Aku benci makan siang, karena tidak ada yang mengingatkanku untuk tidak melewatkan makan siang dan memuji betapa sehatnya makananku..
Aku benci berenang, karena tidak ada sosok yang menemaniku di ujung sana sambil melatih ototnya dengan alat-alat fitness..
Aku benci soundtrack Maha Go, karena siapa lagi yang akan kuberikan semangat untuk mengendarai mobilnya dengan lagu itu..
Aku benci stasiun kereta api, karena tidak ada yang menungguku atau melepasku disana. Untuk melepas rindu, atau kembali merindu...
Aku benci perfume kesukaanku, karena kau juga menyukainya..
Aku benci semua bajuku, karena setiap helainya mengingatkan momen-momen saat aku bersamamu..
Aku benci kamar kost-ku, karena disanalah dulu kita bersenda gurau meski hanya lewat layar telepon genggam..
Aku benci ruang kantorku, karena tidak ada semangat yang menyertaiku di setiap pagi saat aku akan memulai bekerja.. 
Aku benci Balikpapan..
Aku benci Yogyakarta..
Aku benci Semarang..
Aku benci Kudus..
Aku benci Jakarta..

Namun yang paling ku benci dari semua itu adalah, kenyataan bahwa AKU TIDAK BISA MEMBENCIMU..

Gambar terkait

Jumat, 15 Desember 2017

Menolak Lupa: (Akhir?) Cerita Cinta Kita

Setelah sekian lama alpha melirik blog ini, aku cukup tertegun saat melihat profile-ku. Disitu dulu kutulis dengan bangganya "Pacar kesayangan dan satu-satunya Ahmad Royyan Syah". Ada yang menusuk ulu hati saat membaca kalimat itu. Dari kalimat itu, terlihat begitu angkuhnya aku sebagai manusia, yang saat itu belum kusadari.

Aku lupa tepatnya berapa tahun lalu keangkuhan itu kupublikasikan. Dan kenyataannya, situasi saat ini sudah jauh berbeda.
Masih... Dia masih jadi satu-satunya lelaki yang aku cintai. Tapi aku bukan lagi pacar kesayangannya, bukan lagi wanita satu-satunya, bukan lagi seseorang yang berarti baginya.
Pacar?
Aku bahkan tidak tahu siapa aku baginya sekarang. Tapi jika ditanyakan status, aku ini (masih) tunangannya.

Ya, dia melamarku, setelah hampir 5 tahun kami bersama. Aku tidak memintanya melamarku, dia pun tak bertanya apakah aku bersedia untuk dilamar. Yang terjadi hanyalah ibunya yang bertanya kepada ku kapan keluarganya bisa datang ke rumahku. Berkenalan, sekalian melamar.

Perasaanku? Senang bukan kepalang!
Memang terbersit pertanyaan dalam benakku, mengapa tidak secara langsung dia diskusi denganku. Rautnya pun biasa saja menanti hari itu. Jangan-jangan dia belum yakin? Didesak keluarganya? Ah, kutepis pikiran-pikiran itu. Dia kan memang lelaki yang sulit mengutarakan isi hati. Hiburku.

19 Agustus 2017. Dia dan keluarganya datang ke rumahku. Memintaku kepada Ayahku. Disaksikan keluarga besarku. Aku senang sekali! Berkali-kali aku menyebutnya calon suamiku setelah itu. Dia hanya tersenyum. Tidak ada yang berubah dari dirinya setelah kami bertunangan. Ah, dia kan bukan orang yang ekspresif. Hiburku. Lagi.

Persiapan penikahan mulai kami lakukan. Ku akui, jarak memang menghalangi kami. Kami sepakat akan menikah di Jakarta. Namun aku yang masih bekerja di luar kota jadi sulit mempersiapkan semuanya. Setelah melalui beberapa berdebatan, kami akhirnya memilih At-Tin sebagai tempat akad dan resepsi pernikahan kami yang akan dilaksanakan pada 24 Februari 2018.

Selama menyiapkan pernikahan ini, banyak faktor yang membuat kami sering berselisih paham. Kami lebih sering bertengkar dibandingkan 5 tahun kami bersama.
Sampai akhirnya minggu terakhir Oktober 2017, dia minta pernikahan kami diundur.
Aku pasrah. Percuma aku bertahan jika dia tidak yakin padaku, jika dia tidak yakin mau menikah denganku.
Sempat kutawarkan untuk putus saja, karena dia menuduhku dekat dengan lelaki lain. Namun dia menolak. "Aku mau mempertahankan hubungan kita", katanya waktu itu. Hari itu juga dia ceritakan keputusan kami (yang sebenernya keputusan dia) kepada keluarganya. Banyak nasehat-nasehat dari keluarganya yang diberikan padaku. Aku hanya diam saja, pasrah.

Hari-hari setelah itu kujalani dengan hampa. Belum terpikir olehku bagaimana caranya aku menceritakan kabar ini kepada orang tuaku.

Dia memutuskan untuk umroh pada akhir tahun. Tanpa memberi tahuku. Aku tahu dari tantenya. Hal itu membuat kami bertengkar. Umroh hal yang baik, kenapa dia harus menyembunyikannya dariku? Aku tidak paham jalan pikirannya.

Dua minggu berikutnya kuputuskan untuk pulang. Aku harus membicarakan hal ini kepada orang tuaku. Aku tak tahan setiap hari Ibu menelpon atau chat hanya untuk update persiapan pernikahan dan tetek bengek nya.
Diperjalanan pulang aku berpikir keras mencari-cari cara agar kabar ini tidak terlalu membuat orang tuaku shock.
Namun ternyata akulah yang lebih dahulu dibuatnya shock. Dia tidak bersedia menemaniku menghadapi orang tuaku dengan alasan "takut diusir ayah".
Aku? Kecewa luar biasa!

Aku terpaksa menghadapi Ibu dan Ayah sendirian. Ibu sedih, karena beliau tahu aku sangat terpukul (meskipun sebisa mungkin tidak kutunjukkan). Ayah, lebih rasional dalam menanggapi. Namun aku tahu hal ini memberatkan pikirannya juga.
Satu pertanyaan dari Ibu, yang saat itu belum bisa aku jawab secara langsung. Pernikahan ini diundur, atau dibatalkan?

Pertanyaan yang sama yang ada dalam benakku. Yang karena terlalu membuatku penasaran, akhirnya kutanyakan padanya.
Dan jawabannya berbeda. Dia bilang, "aku juga masih mencari jawaban. Mau lanjut, atau putus sama kamu".
Dulu bukan itu yang dia katakan. Dulu dia bilang mau mempertahankan hubungan kami.
Aku semakin terpukul. Aku semakin tidak mengenalnya.

Dia menemuiku saat aku akan kembali ke perantauan. Di parkiran stasiun, dia menemaniku menunggu jadwal keretaku datang. Kami berbicara, tentang Ayah dan Ibu. Dia menggenggam tanganku (dia tidak pernah begitu). Dia mengelus kepalaku. Dia berkata lembut padaku. Saat aku akan pergi, dia menciumku, memelukku, dan berkata dia cinta padaku.
Itu obat hati yang sangat luar biasa bagiku. Kegundahanku berkurang. Aahh, wanita memang lemah. Aku memang lemah.
Dia berbeda. Dia masih sayang padaku (kukira begitu). Aku kembali, dengan hati yang sedikit terobati.

Kami masih intens berkomunikasi. Meski kusadari, memang tidak selepas dulu.
Dulu dia selalu membalas chatku. Dia bahkan bilang padaku jika dia ingin ke toilet, atau bahkan mencuci baju. Dulu hampir setiap malam dia menelponku. Video call. Tapi setelah kepulanganku itu, dia tidak cepat membalas chatku. Dia tidak pernah menelponku, apalagi video call. Aku sadar, tapi pasrah.

Sampai akhir bulan lalu (November 2017), seorang sahabat SMA-ku melihatnya bersama wanita lain. Aku dikirimkan gambar mesra mereka di suatu tempat makan. Duduk berdua, bercengkrama bahagia. Tangan wanita itu bergelayut mesra di tangannya. Tangan lelakiku. Mereka terlihat serasi, menggunakan sepatu model sama yang bahkan aku tak tahu dia miliki.
Aku hancur. Berkeping-keping. Belum pernah aku menangis seperti itu selama bertahun-tahun.

Malamnya aku menghubunginya. Kubuka dengan percakapan biasa. Lalu kutanya tentang wanita itu. Awalnya dia tidak mau mengaku sampai aku kirimkan foto laknat itu.
Dia hanya berkata "ooh". Dan "hanya teman".
Kami berjanji membahas ini secara langsung, minggu berikutnya. Kuputuskan untuk tidak menghubunginya, untuk memberinya waktu berpikir.

Aku kecewa. Aku gelisah. Aku tidak sabar ingin bertemu dengannya. Aku rindu.
Ya, bahkan saat aku tahu dia menghianatiku, aku tetap merindukannya.
Aku berusaha berpikir bahwa wanita itu hanya pelampiasannya saja. Saat bertemu nanti, dia akan meminta maaf padaku. Kembali padaku.

Tapi ternyata aku salah. Dia merendahkan ku. Aku seperti dihakimi. Dia mengeluarkan semua hal yang dia tidak suka padaku. Dia menuduhku selingkuh. Dia membela wanita itu. Dan apa yang aku lakukan saat itu? Memohon padanya. Ya, aku gila. Aku tidak normal. Aku terpuruk. Aku merasa ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Dia bilang akan mempertimbangkan aku. Dia mau tetap bersama wanita itu. Aku merasa akulah simpanannya. Akulah perusak hubungannya. Tapi saat itu aku keras hati, aku mau tetap dia jadi lelakiku. Meskipun aku diduakan olehnya.

Dia akan memberi keputusan setelah dia umroh, katanya. Aku berusaha, sekuat tenaga, untuk menarik hatinya lagi. Untuk membuktikan aku cinta padanya.
Sampai akhirnya pada satu titik, aku sadar. Aku sudah tidak berharga lagi baginya. Aku hanya pengganggu di kesehariannya. Pengganggu hubungannya dengan wanita itu. Aku hanya lelucon baginya.

Aku pasrah. Pasrah sebenar-benarnya pasrah. Aku belajar merelakannya. Aku belajar melepaskannya. Aku pelajari kesalahan-kesalahanku selama ini. Aku fokus memperbaiki diri. Aku lepaskan bayang-bayangku darinya. Aku biarkan dia bahagia bersama wanitanya yang sekarang. Kutampar diriku sendiri, untuk menyadarkanku bahwa dia bukan lagi lelakiku.

Belum, dia belum mengeluarkan kata perpisahan.
Tapi aku sudah terlalu hancur untuk berharap.

Aku tidak bisa marah padanya. Aku tidak bisa membencinya meskipun aku sangat ingin. Aku masih sangat cinta padanya. Aku sangat rindu padanya. Tapi aku mau dia bahagia, dengan keputusannya.

Dia bukan lelaki terbaik yang aku kenal, tapi dia adalah cinta terindah di hidupku.

Kuserahkan semuanya, pada Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati.
Aku berharap yang terbaik baginya. Dan jika yang terbaik untuknya bukanlah aku, aku berdo'a agar hatiku cukup kuat untuk menerimanya.

Besok, akan kuceritakan semuanya pada orang tuaku. Aku akan sakit, mereka akan sakit. Tapi kami akan bangkit.